Letriani terpaksa tinggal di panti asuhan agar bisa melanjutkan sekolahnya.
Bukan karena ia anak yatim piatu, melainkan karena jarak panti asuhan lebih dekat dengan sekolah ketimbang dari rumahnya.
Letriani tinggal di kampung Talang Tebat Rawas, salah satu kampung yang ada di kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan.
Di kampungnya, hanya ada satu bangunan sekolah yaitu SDN 08 Rambang.
Sekolah ini didirikan tahun 2003 lewat gotong royong warga Talang Tebat Rawas atas keprihatinan para orang tua yang melihat anak-anaknya harus menempuh 15 km perjalanan untuk bisa sampai di SD terdekat.
Keterbatasan akses ini membuat sebagian besar warga di kampung Talang Tebat Rawas hanya lulus sekolah dasar saja.
Kedua orang tua Letriani tidak pernah mengantongi ijazah SD.
Ayahnya bekerja sebagai buruh tani kebun karet.
Meskipun demikian, orang tua Letriani tidak pernah berhenti mendukung semangat anaknya untuk menempuh pendidikan setinggi-tingginya.
“Ayah biasa berangkat dari pukul 5 pagi dan baru pulang di sore hari.
Gajinya sebagai buruh dibayarkan setiap sebulan sekali, itu pun masih harus bagi hasil dengan pemilik kebun karet,” katanya dalam rilis yang diterima Tempo pada Senin, 15 Agustus 2022.
Kesulitan ekonomi membuat Letriani harus pakai seragam bekas tetangga sejak masuk SD.
Di tengah kesulitan itu, salah seorang tenaga pengajar baru datang ke kampung Talang Tebat Rawas membantu mencarikan beasiswa bagi anak-anak di sana.
Letriani menjadi salah satu penerima beasiswa Mimpi Anak Negeri di Hoshizora Foundation, NGO yang berfokus pada pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak.
Ia mendapatkan bantuan biaya pendidikan dan kelas pengembangan kapasitas yang mendukungnya sampai menyelesaikan pendidikan 12 tahun.
Meskipun beasiswa tersebut sudah menjamin biaya pendidikan Letriani, permasalahan lain adalah kesulitan akses untuk menjangkau sekolah menengah.
Letriani harus menempuh jarak yang sangat jauh dan kedua orang tuanya tidak mampu mengantarnya.
Sebenarnya ada satu motor di rumah, namun kondisinya yang sudah tua hanya sanggup untuk digunakan ke kebun saja.
Hal ini dikarenakan kondisi jalanan menuju kabupaten berupa tanah bergelombang dan berlubang.
Ketika musim hujan, jalanan bisa berubah seperti aliran sungai.
Terpaksa Tinggal di Panti Asuhan Beruntungnya, sebuah panti asuhan di Kabupaten Muara Enim mau menerima Letriani untuk tinggal di sana walaupun ia bukanlah anak yatim piatu.
Ketika tinggal di panti asuhan, Letriani bisa lebih dekat dengan sekolah.
Akhirnya, Letriani harus tinggal jauh dari kedua orang tuanya selama 6 tahun hingga lulus Madrasah Aliyah.
Semangat belajar Letriani tampak dari hasil akademik yang mengantarkannya selalu mendapatkan peringkat satu di kelas.
Ia pernah menjadi juara I Lomba Kompetensi Sains Madrasah bidang biologi terintegrasi tingkat kabupaten.
Lalu, menjadi finalis Olimpiade Sains Kuark (OSK) mewakili provinsi Sumatera Selatan.
Aktif Berorganisasi Di luar kelas pun, Letriani aktif berorganisasi dan menjabat sebagai wakil ketua OSIS.
Dari sini semangat Letriani untuk bisa menempuh pendidikan yang lebih tinggi berkobar.
Ia berhasil kuliah di Universitas Lampung dengan program studi Teknologi Hasil Pertanian dari donasi.
“Untuk bisa lanjut kuliah, salah satu guru membantu membuka donasi lewat KitaBisa.
Alhamdulillah, cukup untuk meng-cover UKT semester 1,” ujarnya.
Ia merasa bersyukur banyak orang baik yang mendukung pendidikannya.
Letriani pun tidak berhenti berjuang mencari beasiswa untuk mengurangi beban orang tuanya.
Ketika Hoshizora Foundation mengumumkan pembukaan dukungan pendidikan untuk mahasiswa melalui Permata Bintang Fellowship di tahun 2021, Letriani segera mendaftarkan diri.
“Saat proses seleksi online, saya hampir tidak lolos karena susah dihubungi.
Ya karena benar-benar tidak ada sinyal internet di rumah.
Jadi, saya harus jalan 3 km ke tengah hutan perkebunan karet supaya bisa dapat sinyal,” ujarnya.
Berhasil Raih Beasiswa Perjuangan Letriani membuahkan hasil.
Ia berhasil menjadi awardee Permata Bintang Fellowship tahun itu.
Perjalanan sejauh 3 km menuju perkebunan karet ini yang selalu ditempuh oleh Letriani selama masa pembelajaran jarak jauh.
Ia mengaku, kuliah online selama pandemi menjadi tantangan besar baginya sebagai seorang mahasiswa.
Setiap hari, ia duduk beralaskan karpet di bawah pepohonan karet yang rindang, sembari ditemani monyet-monyet yang berlompatan di atas pohon dan burung-burung berkicau.
Seringkali, para buruh karet yang lewat pun memberikan tatapan heran melihat Letriani memegang buku dan handphone di tengah kebun.
Saat hujan turun, Letriani harus menghadapi berbagai tantangan yang menjadi kesan tersendiri baginya.
Ia harus bergegas mengemas buku, tas, dan karpetnya agar tidak kehujanan.
Lebih dari itu, ia juga harus menyelamatkan handphonenya yang sudah error agar tidak tambah rusak karena basah.
Jika rusak, maka ia tidak bisa ikut kuliah online.
Belum lagi kondisi hujan yang seringkali mengganggu sinyal membuatnya selalu berharap agar ia tidak ketinggalan materi kuliah.
“Sesekali ada rasa sedih dan bangga karena tidak semua orang di kampungku bisa melanjutkan pendidikan,” ujarnya.
Bantu Mengajar Anak-anak di Kampungnya Semangat ini membuat Letriani merasa memiliki tanggung jawab untuk memajukan pendidikan adik-adik di kampungnya.
Sejak lulus MA dan keluar dari panti asuhan, Letri membantu mengajari anak-anak belajar membaca, menulis, mengaji, hingga cara mengoperasikan laptop dan mengakses internet.
Letriani merasa senang bisa berbagi ilmu dan pengalaman pendidikannya kepada adik-adik di kampungnya.
Dia berharap agar lebih banyak lagi anak-anak di kampungnya berjuang mengejar pendidikan setinggi-tingginya.
“Saya adalah pemuda yang tinggal di wilayah pelosok.
Dulu, menjadi mahasiswa hanya sebatas mimpi bagi saya.
Tapi sekarang, mimpi ini bisa saya rasakan,” ujarnya.
Sekpri Jokowi Ungkap Makna Hijau dan Pucuk Rebung di Baju Adat Paksian